BAB
II
PEMBAHASAN
Ihyaul
Mawat dan Ja’alah
1. Pengertian
Ihya al-Mawat
adalah dua lafadz yang menunjukan satu istilah dalam Fiqh dan mempunyai maksud
tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan
dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.
Sedangkan
pengertian al-mawat menurut al-rafi’i ialah
الارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها
احد
“Tanah
yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkanya seorangpun.”
Menurut imam al-Mawardi dalam kitab Al-Iqna
al-Khatib, yang dimaksud al-mawat menurut istilah adalah:
هوالذى لم يكن
عامرا ولا حريما لعامر قرب من العامر او بعد
“Tidak
ada yang menanami, tidak ada halangan yang menanami, baik dekat yang menanami
maupun jauh.”
Menurut Syekh Shihab al-Din Qalyubi wa Umairoh
dalam kitabnya Qalyubi wa Umairoh bahwa yang dimaksud dengan ihya
al-mawat adalah:
عمارة الارض التي
لم تعمر
“Menyuburkan
tanah yang tidak subur”[1]
Yang dimaksud dengan tanah baru
ialah tanah yangbelum peranah dikerajakan oleh siapapun : berarti tanah yang
belum dipunyai orang atau tidak diketahui pemiliknya.[2]
Sabda Rasulullah s.a.w.
Dari jabir bersabda rasulullah
s.a.w.: “Barang siapa membuka tanah yang baru, maka tanah itu menjadi
miliknya”. Riwayat Tirmidzi dan disahkanya.[3]
2. Dasar Hukum Ihya al-Mawat
Rujukan (sumber hukum) yang dipakai
oleh para ulama mengenai ihya al-mawat ialah al-hadis seperti hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra,bahwa Nabi Saw .bersabda:
من عمر ارضا ليست
لاحد فهو احق بها
“Barang
siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang maka dialah yang
berhak atas tanah itu”
Sebuah hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud dari Samurah Ibn Jundab bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Barang siapa yang telah membuat suatu dinding di bumi itu berarti telah menjadi haknya”
Madzhab Malik dan Ahmad berbeda
pendapat bahwa seseorang yang akan membuka tanah baru atau akan memfungsikan
tanah tidak wajib untuk meminta ijin kepada penguasa sebab rasulullah saw
bersabda:
من احيا ارضا
ميتة فهي له
“Barang siapa yang mengidupkan
tanah mati maka akan menjadi miliknya”
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam
berpendapat apabila tanah tersebut dikauasai oleh pemerintah maka yang akan
mengelola harus meminta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya dikatakan apabila
ada tanah kosong yang tidak diketahui oleh pemiliknya dan tidak diketahui pula
tempat tinggalnya, tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa tanah
tersebut sudah ada yang mengelolanya, tanah tersebut harus dikuasai oleh negara.
Dijelaskan oleh Idris Ahmad bahwa
tanah kosong yang berada di lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang
islam baik yang diijinkan oleh pemerintah maupun tidak.apabila tanah kosong
dilingkungan orang kafir maka orang-orang islam dibolehkan mengusahakanya
apabila mereka tidak dilarang.
3. Harim Makmur
Harim makmur artinya sesuatu yang
dilarang dikuasai oleh seseorang. Harim itu ada beberapa macam yaitu sebagai
berikut:
3.1.Harim kampung yaitu lapangan atau
alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar, tanah lapang dll
3.2.Harim telaga yaitu tempat (tanah yang
dibuka)/ disuburkan digali untuk kubangan ternak, seperti tempat penambatanya,
tempat pancuranya ditempat pembuangan air.
3.3.Harim rumah yaitu tempat pembuangan
sampah dan yang lain-lainya.[4]
Ada
beberapa tanah yang gtidak boleh digarap:
Pertama,
tanah tak bertuan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Kedua, tanah yang
merupakan fasilitas umum. Ketiga, tanah atau kawasan lindung. Keempa,t
kawasan terlarang untuk dikelola.[5]
4. Milik bersama tanah yang kosong
Tanah kosong yang belum ditanami
atau diurus oleh seseorang ada tiga macam yang menjadi milik bersama yaitu:
4.1.Air
4.2.Rumput
4.3.Benda-benda yang dapat dibakar
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam abu dawud dan ibnu majah dariAbu Hurairoh ra. dari Nabi
Saw. bersabda:
“orang
islam bersyarikat pada 3 macam yaitu air, padang rumput dan api”
Menurut sebagian ulama haram
hukumnya melarang orang lain menggunakan benda-benda tersebut.
5. Pembagian Tanah
Membagi-bagikan tanah dibolehkan
menurut ajaran agama islam asal saja tanah itu belum menjadi milik seseorang
atau suatu lembaga. Menurut Qadhi Iyadh yang dimaksud dengan membagi-bagikan
tanah adalah pemberian pemerintah dari harta Allah kepada orang-orang yang
pantas untuk itu dengan cara-cara sebagai berikut:
5.1.Sebagian tanah dikeluarkan dan diberikan
kepada orang yang
mampumemanfaatkanya dan menjaganya. Tanah itu
merupakan hak miliknya supaya dikelola demi mencukupi kebutuhanya.
5.2.Hak guna usaha yaitu tanah tersebut
diberikan kepada orang-orang
tertentu yang layak danmampu memfungsikanya
hasil untuk pengelola tetapi tanah tersebut bukan atau tidak menjadi hak milik.
6. Temuan dalam Tanah Baru
seseorang yang memiliki sesuatu dibolehkan
untuk memanfaatkanya sesuai dengan kehendaknya dengan syarat tidak mengganggu
orang lain.
Batas-batas tanah harus ditandai
dengan jelas seperti denganpohon, beton, dinding dan tanda-tanda yang lainya
Dijelaskan oleh idris ahmad bahwa
pengarang kitab al-minhaj berpendapat siapa saja yang menghidupkan tanah mati,
kemudian lahir pada tanah tersebut benda-benda yang tersembunyi maka
benda-benda tersebut menjadi miliknya sedangkan air yang terpancar dan rumput
yang tumbuh adalah milik bersama.
7. Definisi Ja’alah
Ja’alah merupakan istilah nama untuk
menyebut sesuatu yang diberikan seseorang pada orang lain sebagai upah karena
mengerjakan sesuatu. Sedangkan menurut terminologi syara’ ja’alah adalah
keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas satu
pekerjaan tertentu atau sesuatu yang belum diketahui dengan sesuatu yang sudah
pasti atau yang lainya.
8. Perbedaan Ja’alah dengan Ijarah
Pada dasarnya ja’alah sama dengan
sewa namun ada beberapa perbedaan aspek antara lain:
8.1 Akad ja’alah sah dan boleh walaupun
bayaranya tidak pasti a’ala sah walaupun pekerjaanya belum diketahui.
8.2 Penerima ja’alah tergantung dalam
keberhasilan pekerjaan.
8.3 Akad ja’alah tetap sah walaupun si
pekerja tidak menerima ja’alahnya.
8.4 Akad ja’alah sah walaupun upahnya belum
diketahui.
8.5 Gugurnya akad ‘iwadh jika si pekerja
membatalkan akad.
9. Rukun Ja’alah
Rukun
ja’alah ada 4:
9.1 Kedua belah pihak yang berakad
9.2 Iwad/upah
9.3 Pekerjaan
9.4 Ucapan
Sebagian
ulama menjdaikan lima :
9.1 Pemberi Ja’alah
Harus memiliki syarat kualitatif
pertama memiliki kebebasan berbuat dengan syarat tindakanya sah dengan apa yang
dilakukan dengan upah baik dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya
wali dan tidak termasuk anak kecil, gila dan idiot. Kedua, mempunyai pilihan
jika terpaksa, maka akad tidak sah.
9.2 Upah
Upah
dalam ja’alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama,
berupa harta yng memang maksud untuk dimiliki terhormat atau hak khusus, dan
jika yang menjadi tujuan dari memiliki seperti darah dan yang lainya maka tidak
boleh.
Kedua,
harus diketahui sebab dia adalah bayaran, maka harus ada pengetahuan tentangnya
seperti upah dalam akad sewa
9.3 Pekerjaan
Pekerjaan
dalam ja’alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama,
pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusuahan.
Kedua,
pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan suatu pekerjaan yang wajib bagi
pekerja secara syar’i, jika ia wajib secara syar’i lalu ia mengembalikanya maka
dia tidak berhak mendapat upah.
Ketiga,
hendaklah sipekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya
seandainya ia rusak sebelum diserahkan walaupun sudah masuk rumah sipemilik
namun belum diserahkan maka tidak ada ganti.
9.4 Ucapan
Ucapan
ini datang dari pihak ja’alah sedangkan dari pihak pekerja maka tdak
diisyaratkan ada ucapan dan dengan ada qobul darinya dengan ucapan walaupun
barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaanya sama denga akad
perwakilan.
9.5 Pekerja
Ia juga harus memenuhi
beberapa syarat:
9.5.1
Mempunyai
ijin untuk bekerja dari orang yang
punya harta, jika dia bekerja tanpa ada ijin
darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukanya atau hewan yang
tersesat lalu dia mengembalikanya kepada pemiliknya, maka dalam hal ini tidak
berhak mendapat ja’alah sebab dia memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah.
Termasuk dalam syarat ini beberapa
gambaran yang paling penting:
Pertama,jika
si pemberi ja’alah mengijinkan seseorang lalu yang bekerja orang lain maka si
pekerja tidak berhak mendapatkan sesuatu berbeda dengan abu hanifah.
Kedua,jika
si pembeli ja’alah berkata :”sipa yang bisa mengembalikan untaku maka ia
mendapat satu dinar.” Lalu dikembalikan oleh orang yang tidak mendengar
panggilan tersebut maka dia tidak berhak mendapat ja’alah sebab ia sukarelawan
mengembalikan tanpa upah.
9.5.2
Hedaklah
si pekerja orang yang memeang ahli
dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan
bentuknya, walaupun masih anak-anak, gila atau sedang dicabuk haknya karena
anak idiot. Si pekerja boleh bukan orang tertentu seperti ucapanya “siapa yang
bisa mengemabalikan hewanku yang hilang, maka ia mendapat begini,” jika dia
mengembalikanya, maka dia berhak mendapatja’alah asalkan dia mendengarnya dari
orang yang dia yakini kejujuranya.
9.5.3
Si
pekerja tidak berhak mendapat upah kecuali jika
sudah selesai bekerja.
BAB
III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Ihya al-Mawat
adalah dua lafadz yang menunjukan satu istilah dalam Fiqh dan mempunyai maksud
tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan
dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.
Bahwasanya Al – Hadis merupakan
sumber hukum yang dipakai oleh para ulama sebagai rujukan.
Dalam haliniMadzhab Malik dan Ahmad
berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan membuka tanah baru atau akan memfungsikan
tanah tidak wajib untuk meminta ijin kepada penguasa.
Harim makmur artinya sesuatu yang
dilarang dikuasai oleh seseorang. Harim itu ada beberapa macam yaitu sebagai
berikut:
Harim
kampung yaitu lapangan atau alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar,
tanah lapang dll
Harim
telaga yaitu tempat (tanah yang dibuka)/ disuburkan digali untuk kubangan
ternak, seperti tempat penambatanya, tempat pancuranya ditempat pembuangan air.
Harim
rumah yaitu tempat pembuangan sampah dan yang lain-lainya.
Ada beberapa tanah yang gtidak
boleh digarap: Pertama, tanah tak bertuan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Kedua, tanah yang merupakan fasilitas
umum. Ketiga, tanah atau kawasan lindung. Keempat, kawasan terlarang
untuk dikelola
Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi.
2010. Fiqih Muamalah. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Rasjid,
Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Athahiriyah. Jakarta.
Asrori, Ma’ruf.
2000. Ringkasan Fiqh Islam. Almiftah. Surabaya.
YouTube | Videoodl.cc
BalasHapusyoutube youtube mp3 juice youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube youtube https://youtu.be/Vx9d7wkQ.